Fanatisme terhadap tim sepakbola yang berujung aksi brutal kembali terjadi di Indonesia. Kali ini, tiga suporter tewas setelah dikeroyok dalam laga Persija-Persib di SUGBK, Senayan, Jakarta, Minggu 26 Mei lalu. Jangan menunda nunda hal yang sudah tidak wajar ini mari bersama sama Hentikan Fanatisme Sepak Bola !
Fanatisme berbuah anarkisme di dunia sepakbola Tanah Air memang sudah tidak asing bagi kita. Kerusuhan antar suporter, perusakan stadion tempat dihelatnya pertandingan, bahkan pemukulan terhadap wasit kerap terjadi kala pendukung tuan rumah tidak puas terhadap hasil akhir yang diperoleh timnya usai laga.
Aksi kekerasan bahkan secara brutal bisa dilakukan oleh siapapun manakala kenyataan tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Lantas, apa yang menyebabkan seseorang atau suatu kelompok begitu mudah tersulut emosinya? Berikut perbincangan singkat dengan Psikolog Sosial Universitas Airlangga (Unair), Ahmad Chusairi, Selasa (29/5/2012):
1. Apa penyebab massa bisa bertindak brutal secara tiba-tiba?
Intinya karena adanya stimulus (rangsangan) dan kondisi internal maupun eksternal. Misalnya, kekerasan dalam sepakbola bisa terjadi di tengah suporter dipicu faktor sosial maupun ekonomi. Ketidakpuasan terhadap tim idolanya di stadion, potensi kekerasan kelompok suporter terjadi juga karena ingin menunjukkan identitas sosial atau seragam mereka. Kemudian juga adanya stimulus dari luar adanya anggapan 'musuh bersama' sehingga muncul kebencian akibat ketidakpuasan itu
2. Rivalitas antara pendukung Persija-Persib berbuah pada ketegangan yang tidak pernah mereda di antara kedua kubu. Kira-kira apa penyebabnya?
Saya kira ini karena cara ekstrim yang menurut historis terlalu dibuat-buat. Rivalitas merujuk pada historis keduanya dalam sepakbola seperti itu ada proses rekayasa untuk memperkuat identitas. Inilah yang menurut saya sangat tidak masuk akal
3. Apa yang harus dilakukan kedua kubu baik Persija maupun Persib untuk meredakan ketegangan kelompok suporter atau menghilangkan persaingan tidak sehat itu?
Bisa dengan menggunakan pendekatan macam-macam. Misalnya manajeman klub mencermati sikap seperti itu dalam hal ini aksi kekerasan/brutal lebih banyak dampak buruknya ketimbang manfaatnya. Sama sekali enggak ada hebatnya berbuat seperti itu. Kemudian para sesepuh tokoh sepakbola bisa diajak untuk bertemu merembukkan bahwa perasaaan in grup out grup harus dihilangkan.
Jadikanlah suporter sepakbola menjadi identitas bersama. Hentikan sikap yang berlebihan yang tidak sehat. Sebaiknya fanatik yang berlebihan itu dihentikan, banyak yang lebih penting dari sepakbola
4. Siapa pihak paling bertanggungjawab atas insiden ini?
Saya kira di luar stadion panitia pelaksana atau penyelenggara pertandingan sudah melakukan tata laksana penertiban. Mungkin itu terjadi di luar area stadion, sehingga ini bisa dikatakan sebagai musibah.
Menurut saya susah mencari siapa pihak yang paling bertanggungjawab. Pihak kepolisian sendiri juga sudah mempunyai Protap (prosedur tetap). Sehingga, jika protap itu sudah dijalankan, maka kita juga enggak bisa mengatakan polisi yang bertanggungjawab atau disalahkan. Di sini sebaiknya tidak perlu mencari siapa yang salah, tetapi lebih bagaimana kita membuat suporter itu tidak terlampau fanatik, bringas.
Kreatif itu boleh, tetapi tanpa perlu gunakan kekerasan verbal atau fisik. Fanatisme dinikmati sebagai privilage, semakin fanatik maka dampak buruknya juga harus diantisipasi
5. Rekomendasi kepada aparat kepolisian untuk mencegah hal ini tak kembali terulang dari segi pengamanan?
Selain peningkatan Protap, peningkatan pengamanan menjalin hubungan dengan pihak-pihak terkait (klub sepakbola). Hilangkan kebiasaan sepakbola yang mengerikan, berkelahi yang tidak bermutu. Mari duduk sama-sama, intinya bertemu dan dialog. Polisi saya kira juga sudah maksimal dalam melakukan pengamanan.
6. Apa faktor penyebab yang membuat warga Jakarta begitu emosional?
Perasaan tertekan hidup di Jakarta dan memang keras hidup dengan tekanan yang begitu hebat. Manakala hidup tertekan secara individual dan tidak mempunyai dukungan sosial, ini orang bisa stres. Bukan merespons secara rasional tetapi malah emosional.
Di Amerika Serikat seperti di New York, Los Angeles juga begitu, banyak yang membuat orang frustrasi sehingga bikin stres. Perlu juga bagi kita untuk mengatur ritme, kontrol emosi menghadapi itu semua. Pengurangan jumlah penduduk juga saya kira efektif untuk mengurangi aksi kekerasan ataupun kriminalitas di Jakarta. ayo bersama kita Hentikan Fanatisme Sepak Bola !